Berita

Lansia Sebatang Kara di Manggarai Timur, Bertahan Tanpa Bantuan

1
×

Lansia Sebatang Kara di Manggarai Timur, Bertahan Tanpa Bantuan

Sebarkan artikel ini

Lansia Sebatang Kara di Manggarai Timur, Bertahan Tanpa Bantuan

 

Manggarai Timur – Di antara hening dan hijaunya perbukitan Desa Compang Wesang, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, berdiri sebuah rumah tua yang nyaris roboh. Di dalamnya, hidup seorang lansia bernama Rosalia (71), seorang janda yang telah delapan tahun hidup dalam kesendirian, setelah ditinggal mati suaminya.

 

“Sudah delapan tahun dia hidup begitu. Anaknya semua sudah pergi, dan dia cuma tinggal dengan cucunya yang masih kecil,” ujar Melan, tetangganya yang setiap hari menyaksikan langsung kehidupan Rosalia kepada media ini, Kamis (15/05/2025).

 

Kisah hidup Rosalia adalah potret nyata ketimpangan sosial dan kesenjangan kesejahteraan yang masih terjadi di pedalaman.

 

Anak-anaknya, menurut Melan, sudah punya kehidupan sendiri. Salah satu anak laki-lakinya merantau ke Maumere dan tak pernah kembali ke rumah.

 

“Sejak merantau, anaknya itu tidak pernah lagi pulang. Tidak kirim kabar, apalagi membantu,” kata Melan.

 

Kini, hanya satu cucu kecil yang tinggal dan menemani Rosalia. Anak itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan sepenuhnya bergantung pada neneknya, yang fisiknya sudah sangat renta. Mereka berdua hidup dengan makanan apa adanya, mengandalkan ubi sebagai pengganti nasi.

 

“Hampir setiap hari mereka makan ubi. Kadang kalau ada tetangga yang kasihan, baru mereka bisa makan nasi atau lauk. Kami sering bantu, tapi kami juga hidup susah,” tutur Melan.

 

Kondisi fisik Rosalia kini jauh dari sehat. Tubuhnya membungkuk, napasnya berat, dan ia sering kali terbaring karena sakit. Dalam usia lanjut dan kondisi ekonomi yang serba terbatas, ia tak bisa lagi bekerja atau mencari penghasilan.

 

“Jalan saja sudah susah. Kadang dia kesulitan bangun dari tempat tidur,” ujar Melan dengan mata berkaca-kaca.

 

Rumah yang mereka tempati pun tak layak disebut rumah tinggal. Bangunannya dari papan tua, atap sengnya banyak berlubang, dan lantainya tanah. Jika hujan turun, air dengan mudah masuk ke dalam rumah.

 

“Kalau hujan deras, mereka pasti kebasahan. Kadang kami bantu tampung air atau pinjamkan plastik buat tutup atap,” ucap Melan.

 

Cinta Rosalia pada cucunya membuatnya terus bertahan, meskipun tubuhnya kian melemah. Ia ingin cucunya tetap sekolah, tidak putus harapan meski hidup dalam serba kekurangan.

 

“Dia selalu bilang, cucunya harus tetap sekolah. Itu yang jadi semangat hidupnya sekarang,” kata Melan.

 

Namun hingga saat ini, belum ada perhatian khusus dari pemerintah terhadap kondisi Rosalia. Tidak ada bantuan rutin, tidak ada kunjungan dari pihak desa atau instansi sosial.

 

“Belum pernah ada bantuan langsung untuk dia. Padahal dia sangat butuh. Kalau bukan karena tetangga, mungkin mereka sudah tidak bisa makan,” keluh Melan.

 

Melan berharap ada tangan-tangan dermawan maupun perhatian dari pemerintah daerah untuk membantu kehidupan Rosalia dan cucunya. Ia yakin, sedikit bantuan bisa membawa perubahan besar bagi kehidupan mereka yang penuh keterbatasan.

 

“Kalau bisa, bantu perbaiki rumahnya. Biar mereka bisa tidur tenang tanpa takut hujan. Atau bantu biaya sekolah cucunya. Itu saja sudah sangat membantu,” harap Melan penuh tulus.

 

Kisah Rosalia adalah pengingat bagi kita semua bahwa masih banyak lansia yang hidup dalam keterasingan dan kemiskinan. Di usia senja, ia tidak butuh kemewahan hanya perhatian, tempat tinggal yang layak, dan makanan secukupnya.

 

“Dia tidak pernah minta apa-apa. Tapi kami tahu dia sangat menderita,” tutup Melan dengan nada lirih.