Berita

GMNI Pecah Tiga: Modal Beli Sempak dan Kekuasaan Murahan

×

GMNI Pecah Tiga: Modal Beli Sempak dan Kekuasaan Murahan

Sebarkan artikel ini

GMNI Pecah Tiga: Modal Beli Sempak dan Kekuasaan Murahan

 

Perpecahan kepemimpinan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menjadi tiga kubu hari ini bukan hanya mencederai marwah organisasi, tetapi mengoyak kehormatan sejarah yang dibangun dari ideologi dan perjuangan.

 

Bagi kader di akar rumput, situasi ini telah melampaui batas konflik internal biasa. GMNI, yang lahir dari semangat marhaenisme dan amanat ideologis Bung Karno, kini dipertontonkan sebagai panggung rebutan kekuasaan. Tak lagi membangun basis, tak lagi membina ideologi melainkan mencari panggung, proyek, dan modal beli sempak.

 

“GMNI tidak sedang direbut untuk dibesarkan. GMNI sedang dijadikan kendaraan politik kotor dan ladang proyek pribadi oleh oknum di DPP yang tak lebih dari pedagang medali dan pemalak anggaran,” ujar Gordianus, Kader GMNI Cabang Makassar, kepada media ini melalui pesan WhatsApp singkat, Rabu (30/7).

 

Pernyataan Gordianus mencerminkan kegelisahan banyak kader di seluruh Indonesia, yang menyaksikan organisasi tempat mereka tumbuh dan berproses, kini dicabik oleh elit pusat yang terjebak ambisi kekuasaan. Tiga ketua dalam satu struktur kepemimpinan nasional bukan hanya memalukan, tapi merupakan manifestasi dari kegagalan struktural.

 

“Ini bukan dinamika. Ini penyakit. Dan penyakit ini menular dari pusat,” kata Gordianus.

 

Ia menegaskan bahwa DPP telah gagal menjadi pengayom ideologis. Bukannya memperkuat konsolidasi nasional, mereka justru sibuk membentuk kubu dan mengklaim keabsahan masing-masing. Saling menjatuhkan, dan berlomba mencari pengaruh untuk menguasai kongres, sementara arah perjuangan semakin kabur.

 

Tak satu pun dari tiga kubu ini, menurut Gordianus, benar-benar berupaya menyelamatkan organisasi dari kehancuran. Mereka hanya berlomba mencari legitimasi. Sementara itu, kader-kader di cabang dibiarkan limbung. Mereka dituntut memilih barisan, dipaksa diam, atau dilabeli pembangkang.

 

“Padahal mereka adalah tulang punggung organisasi. Tapi di mata elit DPP, cabang tak lebih dari angka dalam kongres dan alat legitimasi palsu,” katanya.

 

Kondisi ini membuat banyak kader merasa kehilangan arah. Mereka yang selama ini hidup dalam diskusi dan aksi ideologis, kini hanya dijadikan komoditas politik pusat. Semangat belajar dan berjuang digantikan oleh perintah untuk loyal pada faksi tertentu.

 

Gordianus menilai, sebagian besar pengurus DPP hari ini bukan lagi pejuang pemikir. Mereka telah berubah menjadi pemikir licik, pejuang anggaran, dan pecundang ideologis. Bahkan ada yang terang-terangan menjual nama GMNI demi proyek kampus, proyek pemerintah, hingga kendaraan politik partai.

 

“Mereka tak layak membawa nama besar Bung Karno. Mereka lebih layak disebut makelar organisasi,” ucapnya.

 

Kemarahan Gordianus tidak berdiri sendiri. Banyak kader di basis menyuarakan keresahan serupa. GMNI yang seharusnya menjadi ruang kaderisasi ideologis dan pengabdian sosial, telah berubah menjadi dagelan nasional. Mereka muak. Muak melihat kader-kader terbaik dibungkam. Muak melihat organisasi berubah menjadi alat tawar kekuasaan.

 

“GMNI bukan milik DPP. GMNI bukan panggung elit yang merasa paling sah dan paling benar. GMNI adalah milik para kader yang berpikir dan berjuang tanpa pamrih,” tegas Gordianus.

 

Ia menambahkan, jika hari ini tidak ada yang bersuara, maka GMNI akan tinggal lambang merah jiwanya telah mati. Yang dibutuhkan bukan tiga ketua. Yang dibutuhkan adalah satu kesadaran kolektif: menyelamatkan organisasi dari tangan-tangan kotor yang telah menghianati amanat sejarah.

 

Di akhir pesannya, Gordianus menulis dengan getir: “Kepada DPP GMNI: Kalian bukan pewaris Bung Karno. Kalian adalah penjagal cita-citanya.”